Thursday 26 February 2015

Cahaya Mimpi Suci Kita

Kau tarik aku ke dunia islam yang indah
Aku bawa kau dalam surga duniaku
Senyum merekah dan kebaikan
Kita tebarkan dalam ukhuwah islamiyah
Dalam janji Ikatan suci persahabatan kita
Kita bergandeng tangan, tertawa dan sedih bersama
Mengarungi samudra jagat raya dunia
Badai salju dan seribu duri di ujung sana
Bukan menjadi batu penghalang
 Menuju cahaya mimpi suci kita
Pada Sang Khalik, Penguasa alam semesta
Wahai sahabatku , Dengarkanlah bisikanku
Meski kini kau jauh
Di negri sebarang sana,
Sang Khalik akan memanggil raga kita
Namamu dan cahaya mimpi suci kita
Selalu berkobar dan tergores tiap lafal doaku
Tak pernah usang, pudar dan hilang
Seiring perputaran bumi yang luar biasa
Duhai sahabat terbaikku
Sahabat dunia akhiratku

Thursday 12 February 2015

Masa Ingusanku

Senja masa kecilku terasa indah layaknya langit-langit memamerkan senyum kecil padaku dan tak kan bisa terulang lagi dalam sejarah hidupku. Aku sering bersemangat untuk berangkat sekolah di SD Seworan  dengan teman sekampungku, merekalah yang mewarna-warni hariku. Aku tahu untuk berangakt sekolah kesana memakan waktu yang lama, kira-kira setengah satu jam. Tapi berjalan kaki dengan Tari, Tuti dan Ria, begitu sangat menyenangkan sekali. Bahkan berangkat kesana terasa begitu singkat. Sepanjang jalan kami sering membicarakan tentang teman-teman sekelas, apalagi kami sering meledekin teman kami yang bernama Deni. Kadang-kadang ada salah satu dari kami marah dan kemudian senyum kembali. Guru favoritku di sekolahn adalah Bapak Dadi, dia bapak yang sangat killer dan sering memijit punggung, bagi mereka yang malas. Di kelas empat dia menjadi wali kelasku, aku suka dengan Bapak Dadi, soalnya kalau dia denganku, aku sering dinomorsatukan olehnya. Hari ini disekolahanku, hari memasak dimana, aku harus membawa peralatan masak yang super ribet, tapi hal ini tak menyurutkanku untuk menjadi malas, ini membuatku semakin semangat. Aku satu kelompok dengan temanku yang bernama Budi, dia orangnya gendut yang beda jauh denganku. Aku mendapat bagian memasak telur dadar, ini pertama kali dalam hidupku, soalnya kalau dirumah ibuku yang masak. Aku gugup sekali untuk memasukan telur kedalam wajan. Segera aku masukan telur layaknya melempar batu. Untung saja minyak panasnya tak kena siapapun. Pukul 10 sudah siap untuk semua, kini saatnya makan dengan teman-teman kelompok. Aku tertawa geli, ketika Budi minum minyak tanah, dia tidak sadar kalau minum minyak tersebut, teman-teman sekelas tertawa oleh yang dibuat oleh Budi. Aku senang sekali hari ini, meskipun kelompokku mendapat juara tiga, ini adalah menyenangkan bisa berbagai dengan teman-teman.
Belpun berbunyi, tandanya untuk pulang sekolah. Dengan segera kami keluar berebut untuk keluar kelas. Kami berdesak-desakan keluar, karena perut kami sudah dangdutan, padahal kami sudah makan. Sesampai dirumah, tanpa mencopot baju dan sepatu. Segera aku masuk ke ruang dapur mencari makan yang siap ku santap siang hari ini. Yang paling menggelikan lagi, melihat tanganku yang sangat kotor layaknya milyaran bakteri ditanganku, tetap saja aku menomorsatukan makan dulu. Yang penting perut terisi dan kenyang masalah tangan kotor atau lain sebagainya itu masalah belakangan. “Gumam dalam pikiranku”, Ibu dan Kakeku yang melihatku, mereka hanya tertawa saja, kerena memang sudah di ingatkan berkali-kali, tetap saja aku bandel dan percaya pada keyakinanku.
Tak lama kemudian Neneku mengingatkanku untuk bersembahayang . Neneku ini sangat cerewet sekali, kalau bicara tidak ada habisnya. Dia bernama Nani, walaupun begitu dia selalu sayang padaku, kerena dia sering mengingatkanku untuk selau beribadah tepat waktu, kata Neneku pembiasaan waktu kecil itu sangat baik kelak untuk masa depan. Ya tetatp saja, aku mematuhinya meskipun dalam hati tidak,
“Cepat Nok, Ayo sembahyang entar Allah marah lo” kata nenekku  
“ia, ia nek, ne aku udah selesai wudhunya”
Jujur untuk bacaan dalam sembahayang aku belum terlalu hafal, tak apalah yang penting kan niatnya dalam hati, lucunya dalam sembhayang aku buru-buru, soalnya aku harus buru-buru cari kayu bakar untuk di gunakan memasak di rumah. Tak ada tiga menit, aku sudah selesai bersembahayang layaknya pelari marathon.
            “ Yeni, oh, yen, oh, yen” terdengar suara dar luar
            “ Oh, ya bentar, aku tak minum sebenatar” jawabku dengan segera
Ku langkahkan kakiku penuh dengan semangat layaknya seorang yang maju dalam pertempuran. Siang ini. aku berangkat ke kebun untuk mencar kayu bakar, dengan Tari. Dia adalah teman terbaiku diantara mereka. Kami sangat bersemangat sekali padahal jelas-jelas di kebun itu banyak sekali serangga dan nyamuk, yang terpenting bagi kami adalah dapat membantu meringankan orangtua. Kira-kira pukul 15.00 sore, kami selesai mencari kayu bakar, kebetulan saat itu kebun di tempat itu dekat dengan sungai. Karena bau kami yang tidak di ragukan lagi, dengan segera kami mandi disungai. Kami melompat dari atas batu ke bawah, rasanya senang sekali. Di sungai-sungai kami bercebur-ceburan satu sama lain dan bersorak gembira, sampai-sampai kami lupa waktu kalau sudah sore.
“Allahuakabar, Allahuakbar “
Kami sangat terkejut mendengar suara adzan berkumandang, dengan segera kami bergagas untuk pulang. Untung saja ketika dirumah, Ayahku belum pulang dari ladang, tentunya aku  tidak akan mendapat marahan dari dia. Tapi tetap saja aku kena marah dari nenekku yang super cerewet itu, Kali ini yang menyelamatkanku dari omelan dari Nenekku adalah ibuku tersayang.
Malam ini nenekku menceritakan tentang masa lalunya, aku selalu tidur dengan neneku, soalnya dari dulu aku sudah terbiasa dengannya. Dia menceritakan tentang masa Belanda yang dulu menjajah Indonesia, katanya dulu neneku pernah ingin dibunun oleh belanda untung saja ada orang yang menyelamatkannya. Dia tidak hanya menceritakan tentang masa Belanda saja, tapi dia juga menceritakan tentang perjalanan hidupnya, Neneku pernah berjalan jauh untuk mencukupi kebutuhannya sehari, kalau dinalar sekarang hal itu tidak masuk akal. Aku terbuai oleh cerita Neneku hingga aku tenggelam indahnya surga mimpi.
Pagi harinya, aku bangun pagi sekali, sebelum berkumandang adzan. bahkan lebih pagi dari ibuku. Ku buka pintu jendela kamarku. Kutatapi keindahan bulan purnama yang jauh nan sana, nampaknya dia memberikan senyum mungil padaku, kubalas senyum mungil padanya.
“Ada apa to, Nduk, pagi-pagi kok sudah senyum-senyum” kata Ayahku
“Ini, lho yah, bulannya senyum padaku”
“La, kamu kan manis makanya bulan senyum padamu”
“Oh, ya yah, kenapa sih kalau aku jalan, bulannya selalu ngikutin aku” tanyaku
“Karena, kamu Anak Ayah yang mungil dan manis” Jawab Ayahku
Aku hanya terdiam, masak sih gara-gara aku anak yang mungil dan manis, si bulan mengikutiku berjalan, berarti kalau tidak manis dan mungil, bulan tak kan mengikutiku. “Gumamku penuh dengan nada kebingunngan. Tak beberapa lama, aku diajak ayahku ke Mushola dekat dengan rumahku, tapi dengan syarat aku haru digendong ayahku. Ayahku dengan segera menyanggupi apa yang aku inginkan. Disepanjang jalan, Ayahku bersenandung padaku, katanya kalau sudah besar kelak. Aku harus jadi orang yang bermanfaat bagi sesama dan tentunya bisa memuliakan orangtua.
“Mulia itu apa sih?” tanyaku
“ Makmur, sejahtera dan bahagia”  Jawab Ayahku
Kira-kira pukul 9 pagi, aku berangkat ke ladang dengan kakaku tercinta namanya Ari, dialah dewi penolongku soalnya dia selalu membantuku jika ada Pr dan dia selalu membelaku ketika Ayah memarahiku. Aku merasakan semilir padi diladangku begitu sejuk, ditambah lagi keindahan padi yang sebenatar lagi menguning. Aku dan Kakaku menyannyi-nyanyi diladang untuk mengusir burung-burung yang memakan pada kami. Kadangkala, burung-burung yang menghinggapi ladangku tidak pergi-pergi, sehingga aku harus mendekat untuk mengusir mereka. Sedangkan kakaku, hanya berleha-leha tidur di gubuk. Aku hanya bisa pasrah saja, apa yang dilakukan kakaku, soalnya kalau aku tidak nurut apa yang dia katakan pastinya, dia akan mengancamku tidak membantuku mengerjakan tugas sekolah. Bukan itu saja, dia menyuruhku untuk mencarikan keong, katanya dia ingin membuat sate keong. Tapi kali ini mengelak, soalnya aku takut bila mencari keong sindirian. Untung saja Kakaku, membantuku untuk mencari keong bersama-sama. Kami mencari-cari lumpur-lumpu yang super kotor, banyak sekali hewan yang berkeliaran di ladang, ada bekicot, kepiting, ikan kecil-kecil, dan masih banyak lagi. Aku tak percaya, kami bisa mendapatkan keong satu ember. Wah pastinya orang dirumah pasti senang sekali dengan hasil tangkapan kami. Disisi lain, kaki kami gatal semua, tapi tak apalah yang penting entar bisa makan sate keong.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat masa-masa dirumah, sekolah dan kampung berjalan begitu cepat, layaknya baru kemarin aku menikmatinya. Aku sedih sekali berpisah denga teman-teman SD, apalagi berpisah dengan Tari, sahabat terbaiku. Apakah aku bisa menjalani kehidupan ini. berpisah denga teman-temamn kecilku. Aku takut bila aku tak memilki kawan sebaik dia, aku takut dengan orang-orang yang baru aku kenal. Itulah yang menjadi kegundahanku saat ini. Kakaku lah, yang menyemnagti untuk tidak terlalu takut dengan baru. Bukankah setiap pertemuan pasti ada perpisahan, tentunya akan ada orang-orang baru yang datang dalam hidup kita.

 Tepat tahun 2005, aku lulus dari SD ku, aku berpisah dengan guru-guruku tercinta, yang telah mencerdaskanku selama enam tahun dan tentunnya berpisah dengan teman-teman sekelas. Namun aku tetap berusah memilki keyakinan bahwa kehidupan baru akan segera dimulai dan pastinya aku mendapatkan kehidupan yang lebih indah, bertemu-bertemu dengan orang baik-baik dijagat ini.