Senja masa kecilku terasa indah layaknya langit-langit memamerkan
senyum kecil padaku dan tak kan bisa terulang lagi dalam sejarah hidupku. Aku
sering bersemangat untuk berangkat sekolah di SD Seworan dengan teman sekampungku, merekalah yang
mewarna-warni hariku. Aku tahu untuk berangakt sekolah kesana memakan waktu
yang lama, kira-kira setengah satu jam. Tapi berjalan kaki dengan Tari, Tuti
dan Ria, begitu sangat menyenangkan sekali. Bahkan berangkat kesana terasa
begitu singkat. Sepanjang jalan kami sering membicarakan tentang teman-teman
sekelas, apalagi kami sering meledekin teman kami yang bernama Deni.
Kadang-kadang ada salah satu dari kami marah dan kemudian senyum kembali. Guru
favoritku di sekolahn adalah Bapak Dadi, dia bapak yang sangat killer dan
sering memijit punggung, bagi mereka yang malas. Di kelas empat dia menjadi
wali kelasku, aku suka dengan Bapak Dadi, soalnya kalau dia denganku, aku
sering dinomorsatukan olehnya. Hari ini disekolahanku, hari memasak dimana, aku
harus membawa peralatan masak yang super ribet, tapi hal ini tak menyurutkanku
untuk menjadi malas, ini membuatku semakin semangat. Aku satu kelompok dengan
temanku yang bernama Budi, dia orangnya gendut yang beda jauh denganku. Aku
mendapat bagian memasak telur dadar, ini pertama kali dalam hidupku, soalnya
kalau dirumah ibuku yang masak. Aku gugup sekali untuk memasukan telur kedalam
wajan. Segera aku masukan telur layaknya melempar batu. Untung saja minyak
panasnya tak kena siapapun. Pukul 10 sudah siap untuk semua, kini saatnya makan
dengan teman-teman kelompok. Aku tertawa geli, ketika Budi minum minyak tanah,
dia tidak sadar kalau minum minyak tersebut, teman-teman sekelas tertawa oleh
yang dibuat oleh Budi. Aku senang sekali hari ini, meskipun kelompokku mendapat
juara tiga, ini adalah menyenangkan bisa berbagai dengan teman-teman.
Belpun berbunyi, tandanya untuk pulang sekolah. Dengan
segera kami keluar berebut untuk keluar kelas. Kami berdesak-desakan keluar,
karena perut kami sudah dangdutan, padahal kami sudah makan. Sesampai dirumah,
tanpa mencopot baju dan sepatu. Segera aku masuk ke ruang dapur mencari makan
yang siap ku santap siang hari ini. Yang paling menggelikan lagi, melihat
tanganku yang sangat kotor layaknya milyaran bakteri ditanganku, tetap saja aku
menomorsatukan makan dulu. Yang penting perut terisi dan kenyang masalah tangan
kotor atau lain sebagainya itu masalah belakangan. “Gumam dalam pikiranku”, Ibu
dan Kakeku yang melihatku, mereka hanya tertawa saja, kerena memang sudah di
ingatkan berkali-kali, tetap saja aku bandel dan percaya pada keyakinanku.
Tak lama kemudian Neneku mengingatkanku untuk bersembahayang
. Neneku ini sangat cerewet sekali, kalau bicara tidak ada habisnya. Dia
bernama Nani, walaupun begitu dia selalu sayang padaku, kerena dia sering
mengingatkanku untuk selau beribadah tepat waktu, kata Neneku pembiasaan waktu
kecil itu sangat baik kelak untuk masa depan. Ya tetatp saja, aku mematuhinya
meskipun dalam hati tidak,
“Cepat Nok, Ayo sembahyang entar Allah marah lo” kata
nenekku
“ia, ia nek, ne aku udah selesai wudhunya”
Jujur
untuk bacaan dalam sembahayang aku belum terlalu hafal, tak apalah yang penting
kan niatnya dalam hati, lucunya dalam sembhayang aku buru-buru, soalnya aku
harus buru-buru cari kayu bakar untuk di gunakan memasak di rumah. Tak ada tiga
menit, aku sudah selesai bersembahayang layaknya pelari marathon.
“ Yeni, oh, yen, oh, yen” terdengar
suara dar luar
“ Oh, ya bentar, aku tak minum
sebenatar” jawabku dengan segera
Ku langkahkan kakiku penuh dengan semangat layaknya seorang
yang maju dalam pertempuran. Siang ini. aku berangkat ke kebun untuk mencar
kayu bakar, dengan Tari. Dia adalah teman terbaiku diantara mereka. Kami sangat
bersemangat sekali padahal jelas-jelas di kebun itu banyak sekali serangga dan
nyamuk, yang terpenting bagi kami adalah dapat membantu meringankan orangtua.
Kira-kira pukul 15.00 sore, kami selesai mencari kayu bakar, kebetulan saat itu
kebun di tempat itu dekat dengan sungai. Karena bau kami yang tidak di ragukan
lagi, dengan segera kami mandi disungai. Kami melompat dari atas batu ke bawah,
rasanya senang sekali. Di sungai-sungai kami bercebur-ceburan satu sama lain
dan bersorak gembira, sampai-sampai kami lupa waktu kalau sudah sore.
“Allahuakabar, Allahuakbar “
Kami sangat terkejut mendengar suara adzan berkumandang,
dengan segera kami bergagas untuk pulang. Untung saja ketika dirumah, Ayahku
belum pulang dari ladang, tentunya aku
tidak akan mendapat marahan dari dia. Tapi tetap saja aku kena marah
dari nenekku yang super cerewet itu, Kali ini yang menyelamatkanku dari omelan
dari Nenekku adalah ibuku tersayang.
Malam ini nenekku menceritakan tentang masa lalunya, aku
selalu tidur dengan neneku, soalnya dari dulu aku sudah terbiasa dengannya. Dia
menceritakan tentang masa Belanda yang dulu menjajah Indonesia, katanya dulu
neneku pernah ingin dibunun oleh belanda untung saja ada orang yang
menyelamatkannya. Dia tidak hanya menceritakan tentang masa Belanda saja, tapi
dia juga menceritakan tentang perjalanan hidupnya, Neneku pernah berjalan jauh
untuk mencukupi kebutuhannya sehari, kalau dinalar sekarang hal itu tidak masuk
akal. Aku terbuai oleh cerita Neneku hingga aku tenggelam indahnya surga mimpi.
Pagi harinya, aku bangun pagi sekali, sebelum berkumandang
adzan. bahkan lebih pagi dari ibuku. Ku buka pintu jendela kamarku. Kutatapi
keindahan bulan purnama yang jauh nan sana, nampaknya dia memberikan senyum
mungil padaku, kubalas senyum mungil padanya.
“Ada apa to, Nduk, pagi-pagi kok sudah senyum-senyum” kata
Ayahku
“Ini, lho yah, bulannya senyum padaku”
“La, kamu kan manis makanya bulan senyum padamu”
“Oh, ya yah, kenapa sih kalau aku jalan, bulannya selalu
ngikutin aku” tanyaku
“Karena, kamu Anak Ayah yang mungil dan manis” Jawab Ayahku
Aku hanya terdiam, masak sih gara-gara aku anak yang mungil
dan manis, si bulan mengikutiku berjalan, berarti kalau tidak manis dan mungil,
bulan tak kan mengikutiku. “Gumamku penuh dengan nada kebingunngan. Tak
beberapa lama, aku diajak ayahku ke Mushola dekat dengan rumahku, tapi dengan
syarat aku haru digendong ayahku. Ayahku dengan segera menyanggupi apa yang aku
inginkan. Disepanjang jalan, Ayahku bersenandung padaku, katanya kalau sudah
besar kelak. Aku harus jadi orang yang bermanfaat bagi sesama dan tentunya bisa
memuliakan orangtua.
“Mulia itu apa sih?” tanyaku
“ Makmur, sejahtera dan bahagia” Jawab Ayahku
Kira-kira pukul 9 pagi, aku berangkat ke ladang dengan
kakaku tercinta namanya Ari, dialah dewi penolongku soalnya dia selalu
membantuku jika ada Pr dan dia selalu membelaku ketika Ayah memarahiku. Aku
merasakan semilir padi diladangku begitu sejuk, ditambah lagi keindahan padi
yang sebenatar lagi menguning. Aku dan Kakaku menyannyi-nyanyi diladang untuk
mengusir burung-burung yang memakan pada kami. Kadangkala, burung-burung yang
menghinggapi ladangku tidak pergi-pergi, sehingga aku harus mendekat untuk
mengusir mereka. Sedangkan kakaku, hanya berleha-leha tidur di gubuk. Aku hanya
bisa pasrah saja, apa yang dilakukan kakaku, soalnya kalau aku tidak nurut apa
yang dia katakan pastinya, dia akan mengancamku tidak membantuku mengerjakan
tugas sekolah. Bukan itu saja, dia menyuruhku untuk mencarikan keong, katanya
dia ingin membuat sate keong. Tapi kali ini mengelak, soalnya aku takut bila
mencari keong sindirian. Untung saja Kakaku, membantuku untuk mencari keong
bersama-sama. Kami mencari-cari lumpur-lumpu yang super kotor, banyak sekali
hewan yang berkeliaran di ladang, ada bekicot, kepiting, ikan kecil-kecil, dan
masih banyak lagi. Aku tak percaya, kami bisa mendapatkan keong satu ember. Wah
pastinya orang dirumah pasti senang sekali dengan hasil tangkapan kami. Disisi
lain, kaki kami gatal semua, tapi tak apalah yang penting entar bisa makan sate
keong.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat masa-masa dirumah,
sekolah dan kampung berjalan begitu cepat, layaknya baru kemarin aku
menikmatinya. Aku sedih sekali berpisah denga teman-teman SD, apalagi berpisah
dengan Tari, sahabat terbaiku. Apakah aku bisa menjalani kehidupan ini.
berpisah denga teman-temamn kecilku. Aku takut bila aku tak memilki kawan
sebaik dia, aku takut dengan orang-orang yang baru aku kenal. Itulah yang menjadi
kegundahanku saat ini. Kakaku lah, yang menyemnagti untuk tidak terlalu takut
dengan baru. Bukankah setiap pertemuan pasti ada perpisahan, tentunya akan ada
orang-orang baru yang datang dalam hidup kita.
Tepat tahun 2005, aku
lulus dari SD ku, aku berpisah dengan guru-guruku tercinta, yang telah
mencerdaskanku selama enam tahun dan tentunnya berpisah dengan teman-teman
sekelas. Namun aku tetap berusah memilki keyakinan bahwa kehidupan baru akan
segera dimulai dan pastinya aku mendapatkan kehidupan yang lebih indah,
bertemu-bertemu dengan orang baik-baik dijagat ini.